Belajar agama kalau salah
juga bisa menggiring kita kearah belajar tentang kebencian. Karena pengaruh dari
alur cerita dari sebuah kitab, psikologis kita menjadi kerap terguncang karena
kesalahan dalam menyerap inspirasi dari kitab-kitab tersebut. Karena ada wacana
antagonistik dalam alur cerita Ramayana yaitu Rama dengan Rahwana, atau dalam cerita
Mahabharata, antara Kurawa dengan Pandawa, maka pemahaman di areal permukaan
terhadap kisah-kisah ini bisa juga merabuk kebencian yang ada dalam diri kita.
Membenci si Rahwana yang bejat sebagai penculik istri orang, dan mengutuk Duryudana
yang laknat sebagai si penelanjang istri orang.
Karena kita memutuskan
untuk benci dan tidak mengidolakan Rahwana dan Duryudana, maka kita pun mengabaikan
pesan-pesan moralitas dari tokoh-tokoh antagonistik itu. Padahal tentang
sepiritual atau biasa disebut dengan belajar tentang memahami hakekat hidup, seharusnya
semua yang dikisahkan dalam suatu kitab yang mengisahkan tentang perjalanan
hidup spiritual adalah Guru rohani, Guru moralitas dan spiritual bagi
pembacanya. Namun pada kenyataannya, bahkan terkadang ada seorang Guru dalam
wujud manusia pun sering menceramahkan suatu kisah dengan selalu menempatkan
Rahwana, Hyang Kasipu, Duryudaana, dan sejenisnya sebagai sampah spiritual, atau
penghalang jalan spiritual. Tetapi sepatutnya, seorang murid yang bijak adalah
ia yang sanggup mendapat pelajaran dari sebuah kisah, bukan mendapatkan
kebencian darinya. Jangan sampai hanya karena membaca sebuah kitab, jiwa kita
mengoleksi satu kebencian yang baru, buat apa? Murid yang bijak adalah murid
yang menjadikan seluruh isi kitab sebagai inspirasi rohani, inspirasi yang
hidup dan nyata.
Kisah-kisah yang tertuang dalam kitab-kitab itu selalu mengisahkan, bagaimana
para raksasa atau manusia yang berkarakter jahat, seperti Duryudana yang menonjolkan
satu sifat utama yang bisa ditiru manusia, yaitu sifat totalitasnya. Perwatakan
tokoh seperti mereka ini tidak pernah ragu dalam memperjuangkan cita-citanya.
Sebelum jiwanya melayang, Rahwana tak pernah berhenti untuk berusaha
mempertahankan Sinta, sebelum tubuhnya hancur, Duryudana tak pernah berhenti
mengangkangi Hastinapura, dan sebelum ketiga dunia dikuasai, Hyang Kasipu tak ingin
merasa lelah.
Mengapa raksasa memiliki semangat dan totalitas yang demikian tinggi dalam memperjuangkan cita-citanya? Dan berapa manusiakah yang sanggup memperjuangkan kebaikan-kebaikan yang diomongkannya, hingga kebaikan itu terwujud di masyarakat? Berapa jumlah orang baik yang berjuang hingga darah mengucur demi membela kebaikan itu?
Belajar agama juga bisa membuat kita menjadi penghayal dan pengecut. Sehari-hari mengutuk Rahwana dan Duryudana, sementara kita lupa bertanya, “Apakah yang tengah aku perjuangkan di dunia ini sampai detik ini?” Jika Rahwana tak pernah gentar dalam membela harga diri dan cita-citanya, lalu bagaimana dengan kita? Apakah sudah total dalam membela kebaikan-kebaikan, atau hanya membicarakan kebaikan di bibir untuk kemudian bersembunyi sebagai pengecut manakala akibat kebaikan itu kita mendapat tantangan dari masyarakat sekitar?
Inilah pelajaran yang
dapat kita petik dari seorang Guru Raksasa. Untuk memperoleh sesutau yang kita
yakini, maka sepatutnya mutlak untuk kita berjuang secara optimal. Dibutuhkan totalitas
dari hidup ini. Memegang komitmen dan siap berjuang tanpa henti hingga
cita-cita dan harapan baik itu terwujud. Para raksasa berjuang secara total,
meninggalkan sifat setengah-setengahnya. Sementara keraguan adalah teman baik
kita dalam keseharian, sehingga sifat inilah yang sering membuat kita
tersandung pada suatu kegagalan. Entah itu di dunia bisnis, politik, sosial,
apalagi di dunia spiritual. Tiada kesuksesan yang mungkin diraih tanpa usaha
yang keras, secara terus menerus, berdisiplin tinggi dan ditopang motivasi yang
tinggi.
Bila untuk hal-hal jahat, para raksasa rela berkorban nyawa, lalu untuk tujuan-tujuan baik, mampukah kita menandingi prestasi kaum raksasa itu? Inilah inti pesan spiritual suatu kisah dalam bentuk sosok raksasa. Berhentilah belajar kitab suci, jika hanya untuk menghakimi apapun yang ada di dalamnya, tetapi belajarlah mencari inspirasi positif dari kitab tersebut, entah karakter apa pun yang dimainkan dalam cerita tersebut. Dengan demikian, spiritualitas baru pun dimulai.