Pada kesempatan kali ini, kami tampilkan cerita tentang sejarah tokoh sufi terkemuka sekaligus misterius dikalangan tokoh-tokoh sufi lainnya maupun dimasyarakat umum hingga pada masa sekarang. Beliau adalah Syamsuddin Tabrizi, seorang tokoh sufi yang terkenal karena keanehannya dan juga kedekatannya dengan salah satu tokoh sufi yang bernama Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri atau biasa disebut Jalaluddin Rumi yang terkenal dengan puisi-puisi tentang kecintaannya kepada Tuhan.
Syamsuddin Tabrizi atau
masyarakat biasa memanggilnya Syams Tabriz (matahari dari tabriz) dilahirkan di
Kota Tabriz di Persia pada Tahun 1148 M. Sejak masa kanak-kanak, ia sudah
memperlihatkan bakat dan kejeniusan yang luar biasa. Jangankan bermain, ia justru
malah menghadiri Majelis Pengajian dan belajar tentang Syekh-syekh Sufi dimasa lalu.
Di usia yang masih sangat muda, ia merasakan kerinduan dan mencari-cari sang kekasih dalam dirinya. Karena tidak ada seorang anak sebaya pun yang bisa memahaminya, ia sering menghabiskan waktunya sendirian. Karena itulah, Syams selalu kelihatan murung dan sedih.
Di usia yang masih sangat muda, ia merasakan kerinduan dan mencari-cari sang kekasih dalam dirinya. Karena tidak ada seorang anak sebaya pun yang bisa memahaminya, ia sering menghabiskan waktunya sendirian. Karena itulah, Syams selalu kelihatan murung dan sedih.
Banyak yang mengira
bahwa kemurungan dan kesedihannya lantaran keinginannya tidak tercapai,
sebagaimana lazimnya terjadi pada diri anak muda. Hingga pada suatu ketika ada
yang bertanya kepadanya mengenai perihal kesedihannya, ‘Mengapa engkau murung
dan sedih? Apakah engkau menginginkan baju-baju terbuat dari perak dan emas?,
kemudian Syams menjawab, ‘Tidak, aku menginginkan seseorang yang bisa
menanggalkan ataupun melepaskan apa yang sudah kukenakan ini,”. Maksud dari
ucapannya adalah bahwa ia menginginkan agar baju egoisme, ke Aku an, sifat
mementingkan diri sendiri, sifat merasa paling benar ini dihilangkan dari
jiwanya. Seseorang yang mendengar jawaban demikian dari Syams tidak sanggup
memahami makna-makna terdalam di balik kata-katanya dan sudah pasti banyak yang
menganggapnya sebagai orang yang tidak waras. Banyak diantara mereka yang tidak
mampu mengenal sifat-sifat egoisme mereka, bahkan ada yang mengatakan bahwa itu
semua adalah manusiawi, mana mungkin bisa ditanggalkan, namun pada
kenyataannya perkataan mereka hanyalah suatu alasan untuk pembelaan diri dari
segala perbuatan-perbuatan mereka sendiri.
Dalam usianya yang
belasan tahun, Syams melewati periode susah tidur dan kehilangan nafsu makan
selama lebih dari sebulan. Ketika di tanya mengapa Ia tidak makan dan tidak
tidur, ia menjawab, “Mengapa aku harus makan dan tidur, Jika Allah yang
menciptakan diriku ini, tidak berbicara untuk memerintahkan aku secara langsung?
Apa perlunya aku makan dan tidur? Jika Dia (Allah) sudah mau berbicara kepadaku
secara langsung dan aku mengetahui mengapa aku diciptakan, dari mana asalku,
dan kemana aku kembali, barulah aku mau makan dan tidur.” Pada masa itu
kegilaan yang dialami Syams, oleh para sufi sering disebut masa Kecintaan
Sejati, perasaan seperti itu sering muncul ketika kerinduannya kepada Tuhan
menjadikannya tidak perduli pada berbagai kebutuhan fisik.
Ketika Syams
beranjak dewasa, ia pernah belajar kepada seorang guru sufi, Abu Bakar
Silah-Baf, dan ia mulai di didik dalam menempuh berbagai tahap jalan spiritual.
Namun tak lama kemudian sang guru pun menyadari bahwa Syams telah mencapai
kedudukan yang sangat tinggi sehingga tidak perlu lagi ia menjadi Murid. Atas
saran dan anjuran gurunya, Syams mulai mencari murid sendiri, yang bisa
melanjutkan dan menghidupkan segenap harapan dan cita-citanya. Lalu mulailah
Syams mengembara dari satu kota ke kota lainnya dan dari satu negeri ke negeri
yang lainnya.
Sewaktu singgah di
Baghdad, Syams berjumpa dengan Auhaduddin Kermani, seorang syekh Sufi yang
berkeyakinan bahwa satu-satunya cara untuk mencapai tingkatan spiritualitas
tinggi adalah dengan memperhatikan dan mengamati sifat-sifat Ilahi dalam wirid
Asma Allah dan dalam berbagai keindahan Makhluk-Nya.
Lalu kemudian Syams
bertanya kepada Syekh Sufi tersebut dalam sebuah percakapan sebagai berikut :
Syams : Apakah yang
sedang Syekh lakukan?
Syekh Sufi : Aku
sedang melihat dan memperhatikan pantulan bulan di danau ini?
Syams : Apakah
lehermu sakit? Atau ada bisulnya ?
Syekh Sufi : tidak!
Leherku sehat-sehat saja dan tidak ada bisulnya.
Syams : Jika
lehermu tidak sakit mengapa engkau tidak memandang ke langit? Apakah Engkau
sudah buta sehingga engkau tidak melihat benda yang sesungguhnya dan yang
selama ini selalu engkau fikirkan?
Pernyataan Syams tersebut
sangat berpengaruh sekali pada diri Syekh sehingga ia meminta agar Syams mau
menerimanya sebagai Murid.
Syams : Engkau
tidak akan sanggup dan tidak akan kuat bersamaku.
Syekh Sufi :
Kekuatan itu ada dalam diriku, Tolong terimalah aku menjadi muridmu.
Syams : Jika engkau
memaksa juga, baiklah!, kalau begitu bawakan aku sekendi anggur atau arak yang
paling memabukkan didaerah ini, dan sebagai awal perjumpaan kita marilah kita
mabuk bersama sambil menikmati cahaya bulan di atas pasar Baghdad ini.
Karena merasa takut
pada pandangan masyarakat dan malu jika di lihat oleh Murid-muridnya (lantaran
minuman beralkohol itu haram dan dilarang dalam Agama Islam), Syekh pun
menjawab,
Syekh Sufi : Aku
tidak bisa melakukan ini!
Syams : Bagaiman
bisa engkau menjadi muridku, sedangkan perintahku saja engkau tidak mau
melaksanakannya, bagaimana jika perintah itu datang dari Allah?, Itulah sebabnya
kubilang engkau tidak akan sanggup dan tidak kuat bersamaku. Bagiku engkau
adalah penakut! Engkau tidak sanggup bergaul dengan para kekasih Allah dan para
Wali Allah. Dan Aku hanya mencari seseorang yang tahu bagaimana mencapai dan
menggapai kebenaran yang sesungguhnya.
Kemudian Syams
meninggalkan Syekh Sufi itu dan terus mengembara dari satu tempat ke tempat
yang lain untuk mencari seorang murid yang ideal. Hingga suatu ketika Syams
bertemu dengan Jallaludin Rumi, dan menjadikannya sebagai murid sekaligus teman
dalam menempuh jalan spiritualnya. Bagi sebagian masyarakat yang tidak
memahaminya, menganggap bahwa kedekatan mereka merupakan suatu hubungan yang tak
lazim dan tak pantas untuk ditunjukkan kepada khalayak umum. Padahal apa yang
mereka pikirkan tentang kedekatan Syam dengan Rumi adalah salah, keadaan
seperti ini hanya akan bisa dijelaskan kebenarannya bagi mereka yang mempunyai
tingkat pemahaman tentang spiritual dan Kecintaan yang sama seperti mereka...
Tanpa ada kainmu
yang mengikatku erat-erat tak mungkin aku dapat bersih dari dosa,
Tanpa kau tak
mungkin aku bebas dari sedih dan segala duka-cita.
Aku terlempar dalam
kebisuan badaniah ini, tapi kau mengerti secara rohaniah,
Karena aku punya
kata-kata bersimbah darah di hatiku.
Dalam kebisuan
lihatlah wajahku baik-baik,
Barangkali kau
temui beribu jejak di pipiku.
Aku sudahi saja
pujianku ini, selebihnya tetap biarlah bermukim dalam hatiku,
Bila kau masih mau mabukkan
aku dengan mata nanar akan dapat kukatakan lagi padamu.
_Rumi_