Kamis, 07 Februari 2013

SYAMSUDDIN TABRIZI


Pada kesempatan kali ini, kami tampilkan cerita tentang sejarah tokoh sufi terkemuka sekaligus misterius dikalangan tokoh-tokoh sufi lainnya maupun dimasyarakat umum hingga pada masa sekarang. Beliau adalah Syamsuddin Tabrizi, seorang tokoh sufi yang terkenal karena keanehannya dan juga kedekatannya dengan salah satu tokoh sufi yang bernama Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri atau biasa disebut Jalaluddin Rumi yang terkenal dengan puisi-puisi tentang kecintaannya kepada Tuhan. 

Syamsuddin Tabrizi atau masyarakat biasa memanggilnya Syams Tabriz (matahari dari tabriz) dilahirkan di Kota Tabriz di Persia pada Tahun 1148 M. Sejak masa kanak-kanak, ia sudah memperlihatkan bakat dan kejeniusan yang luar biasa. Jangankan bermain, ia justru malah menghadiri Majelis Pengajian dan belajar tentang Syekh-syekh Sufi dimasa lalu.
Di usia yang masih sangat muda, ia merasakan kerinduan dan mencari-cari sang kekasih dalam dirinya. Karena tidak ada seorang anak sebaya pun yang bisa memahaminya, ia sering menghabiskan waktunya sendirian. Karena itulah, Syams selalu kelihatan murung dan sedih.

Banyak yang mengira bahwa kemurungan dan kesedihannya lantaran keinginannya tidak tercapai, sebagaimana lazimnya terjadi pada diri anak muda. Hingga pada suatu ketika ada yang bertanya kepadanya mengenai perihal kesedihannya, ‘Mengapa engkau murung dan sedih? Apakah engkau menginginkan baju-baju terbuat dari perak dan emas?, kemudian Syams menjawab, ‘Tidak, aku menginginkan seseorang yang bisa menanggalkan ataupun melepaskan apa yang sudah kukenakan ini,”. Maksud dari ucapannya adalah bahwa ia menginginkan agar baju egoisme, ke Aku an, sifat mementingkan diri sendiri, sifat merasa paling benar ini dihilangkan dari jiwanya. Seseorang yang mendengar jawaban demikian dari Syams tidak sanggup memahami makna-makna terdalam di balik kata-katanya dan sudah pasti banyak yang menganggapnya sebagai orang yang tidak waras. Banyak diantara mereka yang tidak mampu mengenal sifat-sifat egoisme mereka, bahkan ada yang mengatakan bahwa itu semua adalah manusiawi, mana mungkin bisa ditanggalkan, namun pada kenyataannya perkataan mereka hanyalah suatu alasan untuk pembelaan diri dari segala perbuatan-perbuatan mereka sendiri.

Dalam usianya yang belasan tahun, Syams melewati periode susah tidur dan kehilangan nafsu makan selama lebih dari sebulan. Ketika di tanya mengapa Ia tidak makan dan tidak tidur, ia menjawab, “Mengapa aku harus makan dan tidur, Jika Allah yang menciptakan diriku ini, tidak berbicara untuk memerintahkan aku secara langsung? Apa perlunya aku makan dan tidur? Jika Dia (Allah) sudah mau berbicara kepadaku secara langsung dan aku mengetahui mengapa aku diciptakan, dari mana asalku, dan kemana aku kembali, barulah aku mau makan dan tidur.” Pada masa itu kegilaan yang dialami Syams, oleh para sufi sering disebut masa Kecintaan Sejati, perasaan seperti itu sering muncul ketika kerinduannya kepada Tuhan menjadikannya tidak perduli pada berbagai kebutuhan fisik.


Ketika Syams beranjak dewasa, ia pernah belajar kepada seorang guru sufi, Abu Bakar Silah-Baf, dan ia mulai di didik dalam menempuh berbagai tahap jalan spiritual. Namun tak lama kemudian sang guru pun menyadari bahwa Syams telah mencapai kedudukan yang sangat tinggi sehingga tidak perlu lagi ia menjadi Murid. Atas saran dan anjuran gurunya, Syams mulai mencari murid sendiri, yang bisa melanjutkan dan menghidupkan segenap harapan dan cita-citanya. Lalu mulailah Syams mengembara dari satu kota ke kota lainnya dan dari satu negeri ke negeri yang lainnya.

Sewaktu singgah di Baghdad, Syams berjumpa dengan Auhaduddin Kermani, seorang syekh Sufi yang berkeyakinan bahwa satu-satunya cara untuk mencapai tingkatan spiritualitas tinggi adalah dengan memperhatikan dan mengamati sifat-sifat Ilahi dalam wirid Asma Allah dan dalam berbagai keindahan Makhluk-Nya.

Lalu kemudian Syams bertanya kepada Syekh Sufi tersebut dalam sebuah percakapan sebagai berikut :
Syams : Apakah yang sedang Syekh lakukan?
Syekh Sufi : Aku sedang melihat dan memperhatikan pantulan bulan di danau ini?
Syams : Apakah lehermu sakit? Atau ada bisulnya ?
Syekh Sufi : tidak! Leherku sehat-sehat saja dan tidak ada bisulnya.
Syams : Jika lehermu tidak sakit mengapa engkau tidak memandang ke langit? Apakah Engkau sudah buta sehingga engkau tidak melihat benda yang sesungguhnya dan yang selama ini selalu engkau fikirkan?
Pernyataan Syams tersebut sangat berpengaruh sekali pada diri Syekh sehingga ia meminta agar Syams mau menerimanya sebagai Murid.
Syams : Engkau tidak akan sanggup dan tidak akan kuat bersamaku.
Syekh Sufi : Kekuatan itu ada dalam diriku, Tolong terimalah aku menjadi muridmu.
Syams : Jika engkau memaksa juga, baiklah!, kalau begitu bawakan aku sekendi anggur atau arak yang paling memabukkan didaerah ini, dan sebagai awal perjumpaan kita marilah kita mabuk bersama sambil menikmati cahaya bulan di atas pasar Baghdad ini.
Karena merasa takut pada pandangan masyarakat dan malu jika di lihat oleh Murid-muridnya (lantaran minuman beralkohol itu haram dan dilarang dalam Agama Islam), Syekh pun menjawab,
Syekh Sufi : Aku tidak bisa melakukan ini!
Syams : Bagaiman bisa engkau menjadi muridku, sedangkan perintahku saja engkau tidak mau melaksanakannya, bagaimana jika perintah itu datang dari Allah?, Itulah sebabnya kubilang engkau tidak akan sanggup dan tidak kuat bersamaku. Bagiku engkau adalah penakut! Engkau tidak sanggup bergaul dengan para kekasih Allah dan para Wali Allah. Dan Aku hanya mencari seseorang yang tahu bagaimana mencapai dan menggapai kebenaran yang sesungguhnya.

Kemudian Syams meninggalkan Syekh Sufi itu dan terus mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari seorang murid yang ideal. Hingga suatu ketika Syams bertemu dengan Jallaludin Rumi, dan menjadikannya sebagai murid sekaligus teman dalam menempuh jalan spiritualnya. Bagi sebagian masyarakat yang tidak memahaminya, menganggap bahwa kedekatan mereka merupakan suatu hubungan yang tak lazim dan tak pantas untuk ditunjukkan kepada khalayak umum. Padahal apa yang mereka pikirkan tentang kedekatan Syam dengan Rumi adalah salah, keadaan seperti ini hanya akan bisa dijelaskan kebenarannya bagi mereka yang mempunyai tingkat pemahaman tentang spiritual dan Kecintaan  yang sama seperti mereka...






Tanpa ada kainmu yang mengikatku erat-erat tak mungkin aku dapat bersih dari dosa,
Tanpa kau tak mungkin aku bebas dari sedih dan segala duka-cita.
Aku terlempar dalam kebisuan badaniah ini, tapi kau mengerti secara rohaniah,
Karena aku punya kata-kata bersimbah darah di hatiku.
Dalam kebisuan lihatlah wajahku baik-baik,
Barangkali kau temui beribu jejak di pipiku.
Aku sudahi saja pujianku ini, selebihnya tetap biarlah bermukim dalam hatiku,
Bila kau masih mau mabukkan aku dengan mata nanar akan dapat kukatakan lagi padamu.


                                                                                                                               _Rumi_